Sabtu, 01 Oktober 2011

M.K PSIKOLOGI PENDIDIKAN (Kemampuan Berpikir)

KATA PENGANTAR

Lantunan syukur keagungan senantiasa mengisi keheningan dan tak terhenti terlontar di mulut yang penuh dosa, atas kebesaran serta kenikmatan yang telah dititipkan dalam kehidupan kami, sehingga pada saat ini penulis selaku insan yang penuh kekurangan bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Kemampuan  Berpikir (Psikologi Pendidikan)”. Tak lupa sebait kalimat terima kasih kepada teman-teman yang telah mengorbankan waktu, tenaga maupun materi sehingga makalah ini bisa selesai dalam kurung waktu yang telah ditentukan.
Penulis berharap pembaca bisa mempelajari dan memahami isi dari makalah ini, sehingga hal ini bisa menjadi bahan acuan dalam hal proses pembelajaran. Namun penulis juga sadar bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, namun hal itu penulis jadikan sebagai bahan pembelajaran yang nantinya akan menuju pada suatu kesempurnaan. Dan tak lupa penulis memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan atau kesalahan serta kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca karena sesungguhnya Penulis hanyalah manusia biasa yang senantiasa bersama dengan kehilafan dan kesalahan itu. Mudah-mudahan makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca dan menjadikannya bahan pembelajaran dalam kehidupan sehari hari.


Makassar, 02 April 2011


Penulis,








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR   ……………………………………………….           i
DAFTAR ISI       …………..…………………………………………...           ii
BAB I       PENDAHULUAN   
A.  Latar Belakang            ………………………………………………            1
B.  Rumusan Masalah       ………………………………………………            2
C.  Tujuan Penulisan         ………………………………………………            2

       BAB II     PEMBAHASAN
A.    Perspektif sejarah kemampuan berpikir         ………………………            3
1. Sejarah Berpikir Zaman Sokrates           …………………………            3
2. Sejarah Berpikir Zaman Modern    ……………………………….           4
       B. Konsep Kemampuan Berpikir             ………………………………            5
       C. Berpikir Kritis dan Kreatif                  ………………………………            6
       D. Domain Kognitif (Cognitive Domain)            ………………………            8
       E. Domain Affectif (Affective Domain)               ………………………            8
F. Gaya Berpikir Pendidik dan
Peserta Didik dalam Proses Pembelajaran      ……………………..              8
G. Pengembangan Aktifitas, Kreatifitas, dan
Motivasi dalam Proses Pembelajaran              ……………………..              10
BAB III PENUTUP
v  Kesimpulan                         …………………………………………        12
DAFTAR PUSTAKA               …………………………………………        iii



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Berpikir merupakan suatu aktifitas akal dan rohani yang berlaku pada seseorang akibat adanya kecendrungan ingin mengetahui dan mengalami. Akal manusia berfungsi untuk mengingat. Manusia diberi daya kognitif yang membolehkannya berpikir. Maunusia juga diberi daya efektif yang membolehkan emosi, perasaan dan kerja hati berhubungan dengan daya kognitif. Oleh sebab itu, lahir pemikiran. Pemikiran yang berkembang dapat memberi dasar kepada lahirnya ilmu.
Akal atau pikiran adalah sumber ilmu intelektual (intelectual knowledge) yang menghasilkan transfer knowledge dan transfer value melalui proses pemikiran melalui akal. Akal adalah tempat bersemedinya kearifan dan kebijaksanaan (hikmah). Akal merupakan karunia Tuhan yang sangat berharga kepada hamba-Nya. Melalui akal manusia dapat membuat pemikiran (rationalize), membentuk konsep (conceptualize), dapat memahami (comprehend) dan sebagainya. Untuk memiliki sifat “kearifan” (wisdom), seseorang perlulah menjalani latihan penajaman berpikir dan pendidikan pembersihan akal.
Kemampuan menggunakan buah pikiran yang baij dan berguna inilah yang bakal mengangkat derajat keinsanan manusia jika dibandingkan dengan hewan. Sejarah membuktikan bahwa jika manusia bertindak tanpa menggunakan akal dan buah pikirannya dapat terjerumus ke dalam derajat kebinatangan, bahkan lebih dahsyat atau lebih hina daripada binatang. Keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang dibuat oleh manusia ada hubungannya dengan kemampuan berpikir. Apabila manusia dapat menggunakan akal dan hatinya dalam mengeluarkan buah pikirannya, maka dapat dikatakan telah menggunakan akalnya dengan benar dan bijaksana.
Berpikir merupakan proses pengetahuan hubungan antara stimulus dan respons dari kegiatan kognitif tingkat tinggi (higher level cognitive).
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang di atas diperoleh beberapa rumusan masalah yakni :
1.  Memberikan informasi kepada pembaca tentang hal-hal yang dikaji dalam  konsep kemampuan berpikir.
2.  Memberikan informasi mengenai tokoh-tokoh yang pernah berkiprah dalam sejarah kemampuan berpikir.

C.  Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai bahan acuan untuk mempelajari dan mengetahui tentang konsep kemampuan berpikir, dan sebagai pemenuhan tugas individu yang diberikan oleh dosen.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perspektif sejarah kemampuan berpikir
1.      Sejarah Berpikir Zaman Socrates
Kemampuan berpikir dari perspektif sejarah dan kesannya terhadap pemahaman tentang konsep kemampuan berpikir itu sendiri. Barat menjadikan dasar berpikir Aristotles, Plato dan Socrates sebagai landasan mengembangkan ilmu dan kehidupan.
Berpikir secara kritis membimbing pemikir ke arah kebenaran. Puncak dari berpikir menemukan manusia mengenai kebenaran. Proses berpikir kritisal membolehkan seseorang membedakan yang benar dengan yang salah, yang buruk dengan yang baik, yang bermanfaat dan yang mudarat. Sudah tentu dasar yang memberikan kemampuan seseorang berpikir kritis adalah ilmu, pengalaman, diskusi dan dalam tradisi Islam diakhiri dengan hikmah. Hikmahlah yang merupakan jalan terbaik membimbing manusia menemui kebenaran.
Berpikir yang juga dikenal pada awalnya sebagai pemikiran kritis yang juga merangkumi pemikiran kreatif telah diberi perhatian khusus oleh manusia semenjak zaman Socrates, 2500 tahun yang lalu. Pada zaman itu, pemikiran kritis dan kreatif dalam kehidupan manusia, socrates telah sukses menggunakan persoalan untuk menilai dalam meningkatkan kemampuan berpikir. Socrates telah menyatakan bahwa buah pikiran yang berkualitas tidak mesti dihasilkan oleh seseorang yang mempunyai kekuasaan atau authoritas saja. Beliau telah membuktikan bahwa seseorang yang mempunyai kekuasaan dan kedudukan kadang-kadang dapat melakukan tindakan yang membingunkan dan tidak diterima akal. Socrates menyarankan betapa pentingnya persoalan-persoalan tingkat tinggi yang beliau sebut sebagai “deep questions” diajukan untuk seseorang berpikir secara kritis dan kreatif sebelum pemikiran tersebut dapat diterima dan digunakan sebagai pengambilan keputusan.
Dia juga menyatakan betapa pentingnya seseorang berupaya melahirkan argumen yang kuat sebelum menghasilkan pemikiran yang dapat diterima. Upaya ini dapat dilakukan unutk melihat secara objektif, merencana, melaksanankan, menganalisis konsep-konsep dasar, dan juga memperhatikan implikasi bukan saja terhadap apa yang dinyatakan tetapi juga apa yang telah dilakukan dengan perbuatan. Metode persoalan Socrates yang kita kenal sebagai “ Socartic Questioning” atau “persoalan Socratic” masih dianggap sebagai satu cara terbaik dalam pengajaran berpikir secara kritis dan kreatif dan masih banyak digunakan hingga sekarang.

Socrates telah memulai agenda berpikir dengan menggunakan persoalan sebagai alat pembangun ide dan buah pikiran yang mantap. Persoalan telah digunakan apabila mempermasalahkan kepercayaan dan penerangan yang lazim diterima oleh masyarakat tanpa kritisan. Socrates dengan cermatnya memahami satu-satu kepercayaan itu dari perspektif logis dan diterima akal dibanding dari hanya melihat secara lahiriah dan nampak cantik dengan perasaan ego yang serasi dengan cita-cita tersembunyi di dalam diri seseorang. Dalam upaya melihat sebagai potensi untuk memberi kesenangan yang didasarkan kepada argumen, bukti atau dasar keyakinan yang tidak dapat diterima dan digunakan.
Ide Socrates dalam berpikir secara kritis dan kreatif telah disoroti oleh Plato (murid Socrates yang banyak membuat catatan tentang pemikiran Socrates) dan aristotles (Ahli falsafah Greek). Mereka dan ahli falsafah Greek lainnya menyarankan betapa perlunya manusia berpikir sebelum menerima sesuatu, karena realita sesuatu itu mungkin berbeda dari keadaan lahiriahnya, Cuma pikiran yang terlatih (trained mind) saja yang dapat membedakannya dengan apa yang dilihat oleh kasat mata (delusive appearances) dengan apa yang sebenarnya tersirat di balik kulit luarnya (the deeper realities of life). Berdasar dari saran tradisi Greek ini, lahir keperluan bagi manusia untuk mencari kebenaran tersembunyi (deeper realities), berpikir secara sistematik, memperhatikan implikasi secara meluas dan mendalam karena hanya dengan berpikir secara komprehensif, well-reasoned, dan bersifat responsif terhadap tantangan dan kejanggalan memaksa manusia berpikir secara mendalam daripada menghayati apa yang terpapar pada sifat lahiriah saja. Tradisi ini, berhubungan dengan apa yang diajarkan Islam, supaya manusia meneliti kebesaran dan kehebatan sang Pencipta alam ini di balik keindahan ciptan-Nya yang berupa bintang-bintang, gunung-gunung, matahari dan bulan yang senantiasa menakjubkan mereka yang ingin berpikir.
Berpikir dalam Islam adalah dalam lingkungan yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri.

2.      Sejarah Berpikir Zaman Modern
Beberapa pakar filsafat, psikologi, pendidikan yang muncul pada abad 20 seperti Guilford, Dewey, Meyers, Beyer, Bloom dan banyak lagi yang telah mendalami dan memberi sumbangan yang besar terhadap perkembangan kemampuan berpikir manusia. Tokoh-tokoh seperti Benjamin Bloom bersama rekan-rekannya yang lain termasuk Krathwohl telah mendalami konsep penggunaan persoalan seperti apa yang disarankan oleh Socrates dalam menggunakan kemampuan berpikir dengan berlandaskan domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotor.
Bloom adalah orang yang bertanggungjawab dalam memperkenalkan istilah “tingkatan pemikiran” atau “levels of thought processes”. Bloom menyatakan bahwa pemikiran tingkat tinggi (higher-order thought processes) hanya dapat dilakukan dan diterapkan dengan penggunaan tujuan instruksional pembelajaran tingkat tinggi pula. Bloom juga menyatakan bahwa semangat guru dan dosen (pendidik) dalam menggunakan persoalan dan objektif pengajaran tingkat rendah telah melahirkan siswa atau mahasiswa (peserta didik) yang tidak kreatif atau kritis. Ini berlaku karena guru atau dosen tidak sadar tentang kepentingan penggunaan tujuan pembelajaran tingkat tinggi bagaimana membangun pemikiran kritis dan kreatif di kalangan peserta didik (siswa/mahasiswa).
Krathwohl dalam usaha lain telah menghasilkan satu taksonomi yang memberi pemberatan kepada unsur atau domain afektif dalam proses berpikir. Konsep tentang kepentingan domain afektif dalam kesuksesan kehidupan seseorang telah dikhususi pula oleh peneliti bidang psikologi yang terkenal seperti Daniel Goleman yang menyarankan konsep yang dikenal sebagai “EQ” atau Emotional Questions (kecerdasan emosional) menurutnya memiliki peranan penting untuk mencapai prestasi atau kesuksesan. Menurutnya “ 80 % kesuksesan seseorang adalah bergantung kepada EQ bukan IQ-nya”( Goleman 1998). Kenyataan ini dibuat berdasarkan kajian yang dijalankannya ke atas beribu-ribu orang ahli, profesional berjaya dalam lapangan masing-masing. Konsep EQ yang diperkenalkan oleh Goleman mempunyai keselarian dari segi konsep dan penekanan dengan domain  afektif seperti yang diutarakan oleh Krathwohl dalam taksonomi domain afektifnya.

B.     Konsep kemampuan berpikir
Kemampuan berpikir merupakan kegiatan penalaran yang reklektif, kritis dan kreatif, yang berorientasi pada suatu proses intelektual yang melibatkan pembentukan konsep (conceptualiizing), aplikasi, analisis, menilai informasi yang terkumpul (synthesis) atau dihasilkan melalui pengamatan, pengalaman, refleksi, pentaakulan, atau komunikasisebagai landasan pada satu keyakinan (kepercayaan) dan tindakan.
Menurut pakar dalam bidang psikologi menyatakan bahwa pengertian kemampuan berpikir, sebagai berikut:
1.      Menurut Beyer (1984), berpikir adalah uapaya manusia untuk membuat konsep, memberi sebab atau membuat penentuan.
2.      Menurut Fraenkel (1980), berpikir merupakan pembentukan pengalaman dan penyusunan keterangan dalam bentuk tertentu.
3.      Meyer (1977), berpendapat bahwa berpikir melibatkan pengelolaan operasional mental tertentu yang berlaku dalam pikiran atau sistem kognitif sesorang yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah.
4.      Dewey (1910), Kemampuan berpikir adalah manifestasi pemikiran reflektif, termasuk penangguhan penilaian, mengekalkan pemikiran skeptik yang sehat, dan mengamalkan pemikiran terbuka.
5.      Moore dan Parker (1986), menyatakan bahwa kemampuan berpikir adalah keyakinan berlandaskan tindakan yang cermat dan disengaja dalam menerima, menolak atau menangguhkan suatu keputusan berhubungan dengan suatu dakwaan (claims).
6.      Meyer (1987), mendefenisikan kemampuan berpikir sebagai upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk membuat generalisasi, mengandaikan dan mengendalikan kemungkinan-kemungkinan yang bermacam-macam, dan juga menangguhkan keputusan.

C.    Berpikir kritis dan kreatif
Menurut Dr. Richard Paul, direktur the Center for Crical Thinking, satu pusat berpikir kritis yang terkenal di Amerika serikat. Beliau menyatakan bahwa kemampuan berpikir dibagi menjadi dua komponen yang penting yaitu; (i) kemampuan berpikir secara kritis, dan (ii) kemampuan berpikir secara kreatif.
Kemampuan berpikir secara kritis merujuk pada pemikiran seseorang pemikir dalam menilai kevaliditan dan kebaikan suatu ide, buah pikiran, pandangan dan dapat memberi respon berdasarkan bukti dan sebab akibat.
Adapun jenis-jenis pemikiran kritis seperti membandingkan dan membanca (compare and contrast), membuat kategori (categorization), menerangkan sebab akibat (cause and effect), meniliti bagian dan hubungan bagian yang kecil dengan keseluruhan, membuat andaian, membuat ramalan dan infrensi.
Sedangkan defenisi kemampuan berpikir secara kreatif dilakukan dengan menggunakan pemikiran dalam mendapat ide-ide yang baru, kemungkinan yang baru, ciptaan yang baru berdasarkan keaslian dalam penghasilannya. Ia dapat diberikan dalam bentuk ide yang nyata ataupun abstrak.
Mari kita lihat lagi perspektif penting yang yang ada hubungan dengan berpikir. Dengan menggunakan EQ( kecerdasan emosi) seperti yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman, maka kemampuan berpikir juga menegaskan pentingnya peranan hati atau “Qalbu”, sebelum suatu tindakan dilakukan atau diyakini. Pemikiran yang didasarkan pada domain kognitif (IQ) tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan pentingnya domain efektif (EQ) belum tentu dapat menjanjikan satu-satu kesuksesan atau kebahagiaan yang sempurna dalam hidup seseorang. Selaras dengan apa yang disarankan oleh Goleman (1998).
 Peranan hati “Qalbu” yang berkaitan dengan afektif atau EQ dan perannya dalam kesuksesan hidup telah ditekankan dengan tegas dalam satu hadits Nabi Muhammad SAW, kurang lebih 1400 tahun yang lalu:
“Dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, sekiranya daging itu baik, maka baiklah badan itu, sekiranya daging itu tidak baik atau busuk, maka tidak baik atau busuklah badan itu. Daging itu adalah “hati”.
Peranan hati dalam mewarnakan watak, personalitas, kesuksesan dan kegagalan hidup seseorang (di dunia dan akhirat) banyak dikupas dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadits-hadits Rasulullah SAW dan tulisan-tulisan ilmuwan Islam yang begitu banyak terdapat seperti; Imam Al Ghazali, Hanafi, Shafii, Hambali, Maliki dan sebagainya tokoh-tokoh yang terkenal dalam Islam.
Dalam mendefenisikan kemampuan berpikir, penulis menegaskan bahwa “kemampuan berpikir adalah berhubungan dengan terdapatnya seorang individu yang menggunakan antara domain kognitif dan afektif dalam usaha untuk mendapatkan atau memberikan informasi, menyelesaikan masalah atau membuat keputusan. Dengan kata lain,, kemampuan berpikir adalah kemampuan seseorang menggunakan otak (domain afektif/qalbu) nya sebagai landasan kepada keyakinan (belief) atau tindakan (actions).
Berpikir kreatif dapat dilihat dari dua komponen penting:
1.      Suatu kelompok kemampuan yang digunakan unutk memproses atau melahirkan informasi dan kepercayaan (keyakinan).
2.      Suatu kebiasaan yang terbentuk berlandaskan komitmen intelektual dalam menggunakan kemampuan tersebut untuk menjadi landasan kepada perilaku manusia.

Dari konsep berpikir di atas bertentangan dengan konsep di bawah ini:
1.      Berpikir adalah proses yang berkaitan dengan pencairan dan penyimpanan informasi saja (sebab melibatkan cara-cara tertentu dalam mendapatkan dan meladeni informasi)
2.      Berpikir Cuma dikaitkan dengan keupayaan melakukan berbagai pendapat (Karena melibatkan penggunaan secara continue), dan
3.      Berpikir Cuma dikaitkan dengan penggunaan pendapat saja tanpa mengambil dugaan penerimaan hasil pemikiran tersebut.
Ini bermakna hasil mengeluarkan buah pikiran belum dapat dianggap lengkap sekiranya hasil dari buah pikiran tersebut apabila belum diambil validitasnya.



D.    Domain Kognitif (cognitif Domain)
Dari definisi tersebut dapatlah dipahamai bahwa domain kognitif adalah berpikir berlandaskan menggunakan otak. Bloom mengkategorikan domain kognitif kepada enam tingkat. Kepahaman (comprehension), aplikasi (aplication), analisi (analisys), sintaksis (synthesis) dan penilaian (evaluation).
Tingkat pemikiran (levels of thought processes) yang diketengahkan oleh Bloom dapat dibagi menjadi dua kategori penting: tingkat rendah ( low-order or convergent) dan tingkat tinggi (higher-order or divergent). Pemikiran tingkat rendah adalah terdiri dari tingkat “pengetahuan dan kepahaman”. Sementara pemikiran tingkat tinggi, menurut Bloom adalah bermula dari tingkat “aplikasi” sampai kepada “penilaian”. Pemikiran tingkat rendah dikatakan tidak begitu baik untuk menuju pemikiran kritis dan kreatif. Menurut Bloom, pemikiran kritis dan kreatif hanya dapat diperbaiki melalui latihan berpikir yang melibatkan tingkat yaitu tingkat aplikasi sampai penilaian.

E.     Domain Afektif (Affective Domain)
Domain afektif (Affective Domain) merupakan domain yang penting dalam kehidupan manusia. Domain afektif merupakan salah satu objektif pembelajaran di samping domain kognitif yang telah diperkenalkan oleh Bloom dan kawan-kawan pada tahun 1956. Krathwohl mengkategorikan domain afektif terdiri dari; penerimaan (receiving), respon (responding), menilai (Valuing), mengorganisasikan sistem nilai (organizing a value set), dan mengamalkan sesuatu mengikut sistem nilai yang kompleks (charaterizing by Value Complex).
Dengan kelahiran istilah Kecerdasan Emosi (EQ) seperti yang diketengahkan oleh Daniel Goleman dan menjadi begitu populer, dewasa ini menjadikan konsep EQ dan Domain afektif begitu penting. Domain afektif dan emosi adalah dua istilah yang berbeda tapi sama dari segi makna dan penenkanan. Kedua istilah tersebut menegaskan tentang kepentingan elemen perasaan, sistem nilai perasaan, keyakinan dalam proses membuat keputusan, memberikan pendapat, pembentukan personalitas dan pegangan hidup seseorang.

F.     Gaya Berpikir Pendidik dan peserta Didik dalam Proses Pembelajaran
Menurut Sternberg (1997) gaya berpikir adalah kecendrungan atau cara seseorang menggunakan intelektualitasnya untuk mendapatkan kebahagiaan apabila menghadapi sesuatu situasi atau melakukan suatu pekerjaan. Terdapat 13 jenis gaya berpikir berdasarkan 5 dimensi yaitu; dimensi fungsi, dimensi bentuk, dimensi tahap, dimensi skop dan dimensi kecendrungan.


Berikut tabel Gaya berpikir Sternberg ( 1997) :

No.
Jenis Gaya Berpikir
Dimensi
Ciri yang Ditunjukkan
1.
Legislatif
Fungsi
Suka mencipta, menerka, merancang, dan berstruktur.
2.
Eksekutif
Suka mengikut arahan, sesuatu yang berstruktur dan melakukan apa yang diberitahu.
3.
Judisil
Suka menghakimi dan membuat penilaian terhadap suatu situasi atau benda
4.
Monarki
Bentuk
Suka melakukan sesuatu pekerjaan pada suatu masa dengan menggunakan sumber dan tenaga.
5.
Hirarki
Suka melakukan banyak pekerjaan tetapi tetapi tahu memilh yang diprioritaskan, jumlah masa yang diperlukan san tenaga yang hendak digunakan.
6.
Oligarki
Suka melakukan banyak hal tetapi tidak tahu mana yang harus diprioritaskan.
7.
Anarki
Suka menyelesaikan suatu masalah dengan menggunakan pendekatan secara rawak/random, tidak suka dengan sistem, peraturan, panduan dan menganggapnya sebagai penghalang.
8.
Global
Tahap
Suka dengan suatu gambaran umum dan berbentuk abstrak.
9.
Lokal
Suka dengan sesuatu yang terperinci, spesifik, dan contoh yang konkrit.
10.
Internal
Skop
Cenderung bersifat introvert, orientasi kerja, dan cenderung melakukan pekerjaan sendiri.
11.
Eksternal
Cenderung bersifat ekstrovert, berpikiran terbuka, suka berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain.
12.
Liberal
Kecondongan
Suka melakukan sesuatu dengan cara yang baru dan terbuka.
13.
Konservatif
Suka melakukan sesuatu menurut kelaziman.

G.    Pengembangan Aktivitas, Kreativitas dan Motivasi dalam Proses Pembelajaran

“Proses pembelajaran yang berlaku di dalam kelas merupakan suatu proses yang saling melengkapi dan melibatkan dua pihak yaitu; pihak pendidik (guru atau dosen) yang mengendalikan pengajaran dan pihak peserta didik (siswa atau mahasiswa) yang menjalani proses pembelajaran. Dalam proses ini, peserta didik belajar dengan menggunakan berbagai cara. Cara-cara peserta didik mendapat dan memperoleh informasi serta ilmu diistilahkan sebagai model pembelajaran. Sementara pihak pendidik pula, mereka mempunyai berbagai model pengajaran dalam hal penyampaian ilmu pengetahuan dan memenuhi berbagai gaya pembelajaran peserta didik” (Felder & Henriques 1995).
Efektifitas proses pembelajaran banyak bergantung pada kesiapan dan cara mengajar yang dilakukan pendidik, dan kesiapan cara belajar yang dilakukan oleh peserta didik itu sendiri, baik yang dilakukan secara mandiri maupun secara berkelompok.
Dalam proses pembelajaran peserta didik perlu diupayakan pengembangan aktivitas, kreativitas, dan motivasi siswa di dalam proses pembelajaran. Dengan mengutip pemikiran Gibbs, E. Mulyasa (2003) mengemukakan hal-hal yang perlu dilakukan agar siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajarnya, adalah:
1)      Dikembangkannya rasa percaya diri para siswa dan mengurangi rasa takut;
2)      Memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas terarah;
3)      Melibatkan siswa dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya;
4)      Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter;
5)      Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan.
Sehubungan dengan itu, Widada (1994) dan Ahmad Sudrajat (2009) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan aktifitas dan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran, pendidik dapat menggunakan pendekatan sebagai berikut:
a)      Self system approach; guru memperhatikan pengembangan self sistem (kesadaran akan haraga diri) siswa;
b)      Kreative approach; guru mengembangkan problem solving, brain Storming, inquiry, dan role playing;
c)      Value clarification and moral development approach; guru mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan holistic dan humanistic untuk mengembangkan segenap potensi siswa menuju tercapainya self actualization, dalam situasi ini pengembangan intelektual siswa akan mengiringi pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, termasuk dalam hal etik dan moral;
d)     Multiple talent approach; guru mengupayakan pengembangan seluruh potensi siswa untuk membangun self konsep yang menunjang kesehatan mental;
e)      Inquery approach; guru memberikan kesempatan kepada siswa unutk menggunakan proses mental dala menemukan konsep atau prinsip ilmiah serta meningkatkan potensi intelektualnya;
f)       Vitorial riddle approach; guru mengembangkan metode untuk mengembangkan motivasi dan minat dalam diskusi kelompok kecil guna membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif;
g)      Sinetik approach; guru lebih memusatkan perhatian pada kompetensi siswa untuk mengembangkan berbagai bentuk metaphor untuk membuka intelegensinya dan mengembangkan kreatifitasnya. Kegiatan pembelajaran dimulai fengan kegiatan yang tidak rasional, kemudian berkembang menuju penemuan dan pemecehan masalah secara rasional.

Untuk membangkitakan motivasi belajar peserta dala proses pembelajaran, seorang pendidik perlu memperjatikan hal-hal sebgai berikut:
1.      Bahwa siswa akan belajar lebih giat apabila topik yang dipelajari menarik dan berguna bagi dirinya;
2.      Tujuan pembelajaran harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada siswa sehingga mereka mengetahui tujuan belajar yang hendak dicapai. Siswa juga dilibatkan dalam penyusunan tersebut;
3.      Siswa harus selalu diberitahu tentang hasil belajarnya;
4.      Pemberian pujian dan hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan;
5.      Manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu siswa;
6.      Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual siswa, seperti: perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap terhadap sekolah atau subjek tertentu;
7.      Usahakan untuk memenuhi kebutuhan siswa dengan jalan memperhatikan kondisi fisiknya, rasa aman, menunjukkkan bahwa guru peduli terhadap mereka, mengatur pengalaman belajar sedemikian rupa sehingga siswa memperoleh kepuasaan dan penghargaan, serta mengarahkan pengalaman belajar ke arah keberhasilan, sehingga mencapai perstasi dan mempunyai kepercayaan diri (E. Mulyasa, 2003)


BAB III
PENUTUP

v Kesimpulan
Berpikir merupakan suatu aktifitas akal dan rohani yang berlaku pada seseorang akibat adanya kecendrungan ingin mengetahui dan mengalami. Akal manusia berfungsi untuk mengingat. Manusia diberi daya kognitif yang membolehkannya berpikir. Maunusia juga diberi daya efektif yang membolehkan emosi, perasaan dan kerja hati berhubungan dengan daya kognitif. Oleh sebab itu, lahir pemikiran. Pemikiran yang berkembang dapat memberi dasar kepada lahirnya ilmu.
Kemampuan berpikir dari perspektif sejarah dibagi ke dalam dua zaman yaitu; sejarah berpikir zaman Socrates, dan sejarah berpikir zaman Modern.
Socrates telah memulai agenda berpikir dengan menggunakan persoalan sebagai alat pembangun ide dan buah pikiran yang mantap. Metode persoalan Socrates yang kita kenal sebagai “ Socartic Questioning” atau “persoalan Socratic” masih dianggap sebagai satu cara terbaik dalam pengajaran berpikir secara kritis dan kreatif dan masih banyak digunakan hingga sekarang.
Beberapa pakar filsafat, psikologi, pendidikan yang muncul pada abad 20 seperti Guilford, Dewey, Meyers, Beyer, Bloom dan banyak lagi yang telah mendalami dan memberi sumbangan yang besar terhadap perkembangan kemampuan berpikir manusia. Tokoh-tokoh seperti Benjamin Bloom bersama rekan-rekannya yang lain termasuk Krathwohl telah mendalami konsep penggunaan persoalan seperti apa yang disarankan oleh Socrates dalam menggunakan kemampuan berpikir dengan berlandaskan domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotor.
Menurut para pakar dalam bidang psikologi menyatakan bahwa kemampuan berpikir merupakan kegiatan penalaran yang reklektif, kritis dan kreatif, yang berorientasi pada suatu proses intelektual yang melibatkan pembentukan konsep (conceptualiizing), aplikasi, analisis, menilai informasi yang terkumpul (synthesis) atau dihasilkan melalui pengamatan, pengalaman, refleksi, pentaakulan, atau komunikasi sebagai landasan pada satu keyakinan (kepercayaan) dan tindakan.
Menurut Dr. Richard Paul, direktur the Center for Crical Thinking, satu pusat berpikir kritis yang terkenal di Amerika serikat. Beliau menyatakan bahwa kemampuan berpikir dibagi menjadi dua komponen yang penting yaitu; (i) kemampuan berpikir secara kritis, dan (ii) kemampuan berpikir secara kreatif.
Kemampuan berpikir secara kritis merujuk pada pemikiran seseorang pemikir dalam menilai kevaliditan dan kebaikan suatu ide, buah pikiran, pandangan dan dapat memberi respon berdasarkan bukti dan sebab akibat. Sedangkan defenisi kemampuan berpikir secara kreatif dilakukan dengan menggunakan pemikiran dalam mendapat ide-ide yang baru, kemungkinan yang baru, ciptaan yang baru berdasarkan keaslian dalam penghasilannya. Ia dapat diberikan dalam bentuk ide yang nyata ataupun abstrak.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta